Selasa, 14 April 2015

Human Capital


MEMAHAMI KONSEP MODAL MANUSIA (HUMAN CAPITAL CONCEPT)

Pendahuluan

Menelusuri tahun demi tahun di abad 21 ini persaingan di semua sektor semakin ketat. Untuk memenangkannya, setiap organisasi, sektor privat maupun publik, harus memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage) tertentu dibandingkan dengan organisasi lainnya. Keunggulan ini dapat dibentuk melalui berbagai cara, seperti menciptakan produk dengan desain yang unik, penggunaan teknologi modern, desain organisasi, dan yang terpenting adalah manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) secara efektif. Produk yang dimaksud disini tentunya tidak hanya berupa barang yang tangible tetapi juga jasa atau layanan yang intangible. Khusus dalam konteks manajemen SDM, pimpinan perlu meningkatkan berbagai potensi SDM agar mampu memberdayakannya secara optimal dalam mencapai kinerja. Sehingga mampu mendudukkan organisasi pada posisi yang lebih baik dibandingkan dengan organisasi lainnya. Pengembangan SDM bagi organisasi pada hakekatnya adalah investasi. Investasi dalam pengembangan SDM merupakan pengeluaran yang ditujukan untuk memperbaiki kapasitas produktif dari manusia, melalui upaya peningkatan kesehatan, pendidikan dan pelatihan kerja. Alasan logis yang dapat dikemukakan adalah bahwa tenaga kerja yang sehat, terdidik, dan  terampil akan menjadi angkatan kerja yang produktif, dan selanjutnya peningkatan produktifitas berarti peningkatan returns. Dengan manajemen SDM yang baik, organisasi akan memiliki kekuatan kompetitif dan akan menjadi sulit untuk ditiru, sehingga sumber-sumber keberhasilan kompetitif tradisional seperti teknologi proses produksi, proteksi pasar, akses terhadap sumber keuangan dan skala ekonomi seharusnya menjadi lebih berdaya guna. Dalam bidang manufaktur, adalah hal penting melakukan investasi pada modal yang berupa peralatan untuk tetap kompetitif dan menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi. Membiarkan pabrik dan mesin-mesin menjadi usang merupakan malapetaka bagi perusahaan. Tetapi, modal peralatan tidak dapat beroperasi secara efisien bila para operator tidak kapabel dan terampil. Hal ini semakin penting untuk ditekankan, mengingat perubahan teknologi terjadi sangat cepat yang menyebabkan peralatan cepat usang. Investasi dalam teknologi juga hanya memberikan keunggulan kompetitif yang terbatas, seperti yang dikatakan oleh Pfeffer dalam Mangkunegara (2005;110) “machine
don’t make things, people do”. Adalah konsekuensi logis bahwa untuk membuat organisasi mempunyai daya kompetitif yang berkelanjutan (sustainable) dan lebih sulit untuk ditiru, investasi dalam sumber daya ekonomi yang paling berharga, yaitu manusia, tidak dapat ditunda lagi. Semakin disadari bahwa ancaman nyata terbesar terhadap stabilitas perekonomian kita adalah angkatan kerja yang tidak siap (workforce illguipped) untuk menghadapi tantangan-tantangan yang sudah semakin dekat di depan mata. Pidato Theodore, W. Schultz pada tahun 1960 yang berjudul Investment in Human Capital di hadapan para ahli ekonomi dan pejabat yang tergabung dalam American Economic Assosiation merupakan peletak dasar teori atau konsep modal manusia (human capital concept). Konsep ini pada intinya menganggap bahwa manusia merupakan suatu bentuk modal atau kapital sebagaimana bentuk-bentuk kapital lainnya, seperti mesin, teknologi, tanah, uang, dan material. Manusia sebagai human capital tercermin dalam bentuk pengetahuan, gagasan (ide), kreativitas, keterampilan, dan produktivitas kerja. Tidak seperti bentuk kapital lain yang hanya diperlakukan sebagai tools, human capital ini dapat menginvestasikan dirinya sendiri melalui berbagai bentuk investasi SDM, diantaranya pendidikan formal, pendidikan informal, pengalaman kerja, kesehatan, dan gizi serta
transmigrasi (Fattah, 2004).

Konsep Modal Manusia

Modal manusia adalah komponen yang sangat penting di dalam organisasi. Manusia dengan segala kemampuannya bila dikerahkan keseluruhannya akan menghasilkan kinerja yang luar biasa. Ada enam komponen dari modal manusia, yakni: (1) Modal intelektual; (2) Modal emosional; (3) Modal sosial; (4) Modal ketabahan, (5) Modal moral; dan (6) Modal kesehatan (Ancok,2002). Keenam komponen modal manusia ini akan muncul dalam sebuah kinerja yang optimum apabila disertai oleh modal kepemimpinan dan modal struktur organisasi yang memberikan wahana kerja yang mendukung.

a. Modal intelektual (intellectual capital)
Modal intelektual adalah perangkat yang diperlukan untuk menemukaan peluang dan mengelola ancaman dalam kehidupan. Banyak pakar yang mengatakan bahwa modal intelektual sangat besar peranannya di dalam menambah nilai suatu kegiatan. Organisasi yang unggul dan meraih banyak keuntungan adalah organisasi yang terus menerus mengembangkan sumberdaya manusianya (Ross dkk., 1997). Manusia memiliki sifat proaktif dan inovatif untuk mengelola perubahan lingkungan kehidupan (ekonomi, sosial, politik, teknologi, hukum dan lain-lain) yang sangat tinggi kecepatannya. Mereka yang tidak beradaptasi pada perubahan yang super cepat ini akan dilanda kesulitan. Don Tappscott (1998) pada bukunya yang berjudul “Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence” mengemukakan 12 tema ekonomi baru akibat dari meluasnya pengaruh internet. Salah satu tema ekonomi baru itu adalah tema ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy). Implementasinya adalah hanya pegawai yang memiliki pengetahuan yang luas dan terus menambah pengetahuan yang dapat beradaptasi dengan kondisi perubahan lingkungan strategik yang luar biasa cepatnya. Pada awal tahun 1920 para psikolog banyak membicarakan konsep IQ (Intelligence Quotient) sebagai satu-satunya indikator kecerdasan, dengan asumsi bahwa mereka yang memiliki IQ yang tinggi akan memiliki kemampuan untuk memecahkan permasalahan kehidupan. Orang yang memiliki IQ yang tinggi diduga akan cepat menguasai pengetahuan karena kecepatan daya pikir yang dimilikinya. Namun selain memiliki angka kecerdasan yang tinggi, seseorang baru akan memiliki pengetahuan yang luas apabila dia memiliki kebiasaan untuk merenung tentang kejadian alam semesta ini dan mencari makna dari setiap fenomena yang terjadi tersebut. Kebiasaan merenung dan merefleksikan sebuah fenomena inilah yang membuat orang menjadi cerdas. Oleh karena modal intelektual terletak pada kemauan untuk berfikir dan kemampuan untuk memikirkan sesuatu yang baru, maka modal intelektual tidak selalu ditentukan oleh tingkat pendidikan formal yang tinggi. Dalam sejarah tercatat bahwa yang menemukan gagasan tentang elevator di luar gedung pada gedung tinggi hanyalah seorang cleaning service. Ceritanya bermula dari keinginan para insinyur untuk membuat elevator dalam sebuah hotel karena kamar di lantai tiga dan di lantai empat tidak laku dijual. Gagasan awal adalah menjebol lantai untuk membuat elevator di dalam bangunan hotel. Tapi gagasan itu ditolak bagian cleaning service karena mereka akan bekerja lebih banyak membersihkan debu yang berterbangan ke seluruh lantai. Untuk menghindari hal tersebut pegawai cleaning service menyarankan agar elevator di buat di luar gedung. Itulah awalnya gagasan adanya lift capsule yang turun naik di luar dinding gedung.

b. Modal Emosional (emotional capital)
Goleman (1997) menggunakan istilah emotional intelligence untuk menggambarkan kemampuan manusia untuk mengenal dan mengelola emosi diri sendiri, serta memahami emosi orang lain agar dia dapat mengambil tindakan yang sesuai dalam berinteraksi dengan orang lain. Menurut Bradberry & Greaves (2005) dalam Ancok (2005), terdapat empat dimensi dari kecerdasan emosional yakni:

1. Self Awareness adalah kemampuan untuk memahami emosi diri sendiri secara tepat dan akurat dalam berbagai situasi secara konsisten. Bagaimana reaksi emosi di saatmenghadapi suatu peristiwa yang  emosi, sehingga seseorang dapatmemahami respon emosi dirinya sendiri dari segi positif maupun segi negatif.

2. Self Management adalah kemampuan mengelola emosi secara baik, setelah memahami emosi yang sedang dirasakannya, apakah emosi positif atau negatif. Kemampuan mengelola emosi secara positif dalam berhadapan dengan emosi diri sendiri akan membuat seseorang dapat merasakan kebahagiaan yang maksimal.

3. Social Awareness adalah kemampuan untuk memahami emosi orang lain dari tindakannya yang tampak. Ini adalah kemampuan berempati, memahami dan merasakan perasaan orang lain secara akurat. Dengan adanya pemahaman ini individu sudah memiliki kesiapan untuk meenanggapi situasi emosi orang lain secara
positif.

4. Relationship Management adalah kemampuan orang untuk berinteraksi secara positif pada orang lain, betapapun negatifnya emosi yang dimunculkan oleh orang lain. Kemampuan mengelola hubungan  dengan orang lain secara positif ini adalah hasil dari ketiga dimensi lain dari kecerdasan emosi (self awareness, self
management and sosial awareness). Orang yang memiliki modal emosional yang tinggi memiliki sikap positif di dalam menjalani kehidupan. Dia memiliki pikiran positif (positive thinking) dalam menilai sebuah fenomena kehidupan betapapun buruknya fenomena tersebut di mata orang lain. Ketika menghadapi perbedaan pendapat, orang yang memiliki modal emosional yang baik akan menyikapinya dengan positif, sehingga diperoleh manfaat yang besar bagi pengembangan diri, atau pengembangan sebuah konsep. Modal intelektual akan berkembang atau terhambat perkembangannya sangat ditentukan oleh modal emosional.
Orang yang hatinya terbuka dan bersikap positif dan terbuka serta menghindari pernilaian negatif atas sebuah pemikiran orang lain akan memperoleh manfaat dari perbedaan pendapat. Banyak penelitian menunjukkan bahwa inteligensi emosional ini lebih menentukan kesuksesan hidup seseorang dibanding dengan IQ. Beberapa tahun terakhir ini makin banyak pembicaraan tentang pentingnya peranan inteligensi emosional (emotional intelligence) dalam menunjang kesuksesan hidup manusia.

c. Modal Sosial (social capital)
Istilah modal sosial pertama kali muncul di tahun 1916 di saat ada diskusi tentang upaya membangun pusat pembelajaran masyarakat (Cohen & Prusak,2001). Pembahasan tentang konsep modal sosial semakin hangat setelah munculnya tulisan Robert Putnam (1993) dalam Ancok (1998) yang menggambarkan kualitas kehidupan masyarakat Amerika yang makin menurun dalam hal kelekatan antar sesama warga. Munculnya tulisan-tulisan lain tentang modal sosial adalah suatu respon terhadap semakin merenggangnya hubungan antar manusia, dan semakin melemahnya ketidakpedulian terhadap sesama manusia. Fukuyama (1995) dalam Ancok (1998) sangat khawatir tentang masa depan komunitas manusia yang diutarakannya seperti berikut: “We no longer have realistic hopes that we can create a “great society” through large government program”. Kehadiran masyarakat yang menekankan kehidupan hanya pada pertumbuhan ekonomi seperti yang diutarakan oleh Wachtel (1989) dalam Ancok (1997) telah menghantarkan manusia pada kehancuran. Dalam pandangan Fukuyama (1995) transisi dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi semakin
memperenggang ikatan sosial dan melahirkan banyaknya patologi sosial seperti meningkatnya angka kejahatan, anak-anak lahir di luar nikah dan menurunnya kepercayaan pada sesama komponen masyarakat. Dalam upaya membangun sebuah bangsa yang kompetitif peranan modal sosial semakin penting. Banyak kontribusi modal sosial untuk kesuksesan suatu masyarakat. Dalam era informasi yang ditandai semakin berkurangnya kontak tatap muka (face to face relationship), modal sosial sebagai bagian dari modal maya (virtual capital) akan semakin menonjol peranannya (Ancok, 1998). Pandangan para ahli dalam mendefinisikan konsep modal sosial dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama menekankan pada jaringan hubungan sosial (social network), sedangkan kelompok kedua lebih menekankan pada karakteristik (traits) yang melekat (embedded) pada diri individu manusia yang terlibat dalam sebuah
interaksi sosial. Pendapat kelompok pertama ini didukung oleh para beberapa ahli. Brehm & Rahn (1997) dalam Ancok (2002) berpendapat bahwa modal sosial adalah jaringan kerjasama di antara warga masyarakat yang memfasilitasi pencarian solusi dari permasalahan yang dihadapi mereka. Definisi lain dikemukakan oleh Pennar (1997) dalam Ancok (2002) “the web of social relationships that influences individual behavior and thereby affects economic growth” (jaringan hubungan sosial yang mempengaruhi perilaku individual dan yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi). Woolcock (1998) dalam Ancok (2002)
mendefinisikan modal sosial sebagai “the information, trust, and norms of reciprocity inhering in one’s social networks”. Cohen dan Prusak (2001:3) berpendapat bahwa ”Social capital consists of the stock of active connections among people: the trust, mutual understanding and shared values and behaviours that bind the members of human networks and communities and make cooperative action possible”. (Modal sosial adalah kumpulan dari hubungan yang aktif di antara manusia: rasa percaya, saling pengertian dan kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan kerja dan komunitas yang memungkinkan adanya kerjasama). Pandangan kelompok pertama menekankan pada aspek jaringan hubungan sosial yang diikat oleh kepemilikan informasi, rasa percaya, saling memahami, dan kesamaan nilai, dan saling mendukung. Menurut pandangan kelompok ini modal sosial akan semakin kuat apabila sebuah komunitas atau organisasi memiliki jaringan hubungan kerjasama, baik secara internal komunitas/organisasi, atau hubungan kerjasama yang bersifat antar komunitas/organisasi. Jaringan kerja sama yang sinergistik yang merupakan modal sosial akan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan bersama. Pendapat ahli dari kelompok kedua diwakili antara lain oleh Fukuyama (1995) dalam Ancok (1998) yang mendefinisikan modal sosial sebagai berikut: “social capital: the ability of people to work together for common purposes in groups and organizations”. Dengan bahasa yang lain Fukuyama menjelaskan bahwa “Social capital can be defined simply as the existence of a certain set of informal values or norms shared among members of a group that permit cooperation among them. (Modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka). Sejalan dengan pendapat Fukuyama, Bowles & Gintis (2000) dalam Ancok (2002) mendefinisikan modal sosial sebagai berikut: ”Social capital generally refers to trust, concern for one’s associates, a willingness to live by the norms of one’s community and topunish those who do n ot”.Organisasi adalah kumpulan sejumlah manusia yang bekerja sama untuk mencapai tujuan organisasi. Selain itu sebuah organisasi harus bekerja sama dengan organisasi lain untuk mencapai kesuksesan yang lebih besar. Kerjasama dengan organisasi lain ini diwujudkan dalam sebuah aliansi strategik (strategic alliances), atau dalam sebuah penggabungan (merger) organisasi. Modal sosial adalah dasar bagi terbentuknya sinergi
di dalam melaksanakan tugas organisasi. Dengan bersinergi dapatlah diperoleh hasil kerja yang lebih besar, jika dibandingkan dengan bekerja sendiri-sendiri. Modal intelektual baru akan berkembang bila masing-masing orang berbagi wawasan. Untuk dapat berbagi wawasan orang harus membangun jaringan hubungan sosial dengan orang lainnya. Kemampuan membangun jaringan sosial inilah yang disebut dengan modal sosial. Semakin luas pergaulan seseorang dan semakin luas jaringan hubungan sosial (social networking) semakin tinggi nilai seseorang. Modal sosial dimanifestasikan pula dalam kemampuan untuk bisa hidup dalam perbedaan dan menghargai perbedaan (diversity). Pengakuan dan penghargaan atas perbedaan adalah suatu syarat tumbuhnya kreativitas dan sinergi. Kemampuan bergaul dengan orang yang berbeda, menghargai dan memanfaatkan secara bersama perbedaan tersebut akan memberikan kebaikan buat semua.

d. Modal Ketabahan (adversity capital)
Konsep modal ketabahan berasal dari pandangan Paul G. Stoltz (1997) dalam Ancok (2002) yang ditulis dalam buku Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities. Ketabahan adalah modal untuk sukses dalam kehidupan, apakah itu kehidupan pribadi ataukah kehidupan organisasi. Ketika menghadapi kesulitan atau problem yang belum terpecahkan, hanya mereka yang tabah yang akan berhasil menyelesaikannya. Berdasarkan perumpamaan pada para pendaki gunung, Stoltz membedakan tiga tipe manusia: quitter, camper dan climber. Tipe pendaki gunung yang mudah menyerah dinamainya dengan quitter, yakni orang yang bila berhadapan dengan masalah memilih untuk melarikan diri dari masalah dan tidak mau menghadapi tantangan guna menaklukkan masalah. Orang seperti ini akan sangat tidak efektif dalam menghadapi tugas kehidupan yang berisi tantangan. Demikian pula dia tidak efektif sebagai pekerja sebuah organisasi bila dia tidak kuat. Tipe camper adalah tipe yang berusaha tapi tidak sepenuh hati. Bila dia menghadapi sesuatu tantangan dia berusaha untuk mengatasinya, tapi dia tidak berusaha mengatasi persoalan dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Dia bukan tipe orang yang akan mengerahkan segala potensi yang dimilikinya untuk menjawab tantangan yang dihadapinya. Bila tantangan persoalan cukup berat dan dia sudah berusaha mengatasinya tapi tidak berhasil, maka dia akan melupakan keinginannya dan beralih ke tempat lain yang tidak memiliki tantangan seberat itu. Tipe ketiga adalah climber yang memiliki stamina yang luar biasa di dalam menyelesaikan masalah. Dia tipe orang yang pantang menyerah sesulit apapun situasi yang dihadapinya. Dia adalah pekerja yang produktif bagi organisasi tempat dia bekerja. Orang tipe ini memiliki visi dan cita-cita yang jelas dalam kehidupannya. Kehidupan dijalaninya dengan sebuah tata nilai yang mulia, bahwa berjalan harus sampai ke tujuan. Orang tipe ini ingin selalu menyelesaikan pekerjaan dengan tuntas (sense of closure) dengan berpegang teguh pada sebuah prinsip etika. Dia bukan tipe manusia yang ingin berhasil tanpa usaha. Bagi dia hal yang utama bukanlah tercapainya puncak gunung, tetapi adalah keberhasilan menjalani proses pendakian yang sulit dan menegangkan hingga mencapai puncak.

e. Modal Moral (morality capital)
Banyak penelitian menunjukkan bahwa kinerja organisasi sangat tergantung pada sejauh mana organisasi tersebut berpegang pada prinsip etika bisnis di dalam kegiatan bisnis yang dilakukannya. Untuk berperilaku sesuai dengan kaidah etik, organisasi memiliki berbagai perangkat pendukung etik, yang salah satunya adalah manusia yang memiliki moral yang mengharamkan perilaku yang melanggar etik. Kehancuran dan kemunduran berbagai perusahaan besar di USA seperti Enron (perusahaan listrik terbesar), dan Arthur Anderson (perusahaan konsultan keuangan yang beroperasi di seluruh dunia) disebabkan oleh perilaku bisnis yang melanggar etika bisnis. Kasus krisis keuangan di Indonesia tahun 1997-1978 yang membuat perbankan
Indonesia bangkrut karena kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) disebabkan oleh perilaku para pemain bisnis yang tidak berpegang pada etika bisnis. Demikian pula dengan kasus Bank Century yang menghebohkan juga disebabkan oleh perilaku para pemain bisnis yang tidak jujur (atau tidak beritikad baik?) menyampaikan informasi, yang mengakibatkan keputusan bailout dianggap bermasalah. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa organisasi yang berpegang pada prinsip etika memiliki citra yang baik. Citra ini tidak hanya membuat orang suka membeli produk dan jasa organisasi tersebut, tetapi juga membuat harga saham di pasar bursa meningkat secara signifikan. Selain itu organisasi yang berperilaku etika juga akan menarik banyak calon pekerja yang berkualitas untuk melamar menjadi pekerja di perusahaan tersebut. Sebaliknya kalau sebuah organisasi melakukan perilaku yang melanggar etika bisnis maka kerugianlah yang akan dialaminya. Sepatu merk Nike kehilangan banyak pembeli setelah ada publikasi yang luas mengenai anak-anak di bawah umur yang bekerja di perusahaan Nike yang berlokasi di negara-negara berkembang (Hawkins et.al ,1998). Modal moral telah banyak dibicarakan oleh para ahli. Salah satu buku yang membicarakan aspek modal ini adalah Moral Intelligence: Enhancing Business Performance and Leadership Success yang ditulis oleh Doug Lennick & Fred Kiel (2005). Keduanya dalam Ancok (2002) telah menyusun alat pengukur Moral Competency Inventory (Inventori untuk mengukur kompetensi moral).

Terdapat empat komponen modal moral yang membuat seseorang memiliki kecerdasan moral yang tinggi yaitu:
1. Integritas (integrity), yakni kemauan untuk mengintegrasikan nilai-nilai universal di dalam perilaku. Individu memilih berperilaku yang tidak bertentangan dengan kaidah perilaku etikal yang universal. Orang berperilaku atas keyakinan bahwa perilaku dalam bekerja yang etikal adalah sesuatu yang harus dilakukan dan akan membuat dirinya bersalah jika hal itu dilakukan.

2. Bertanggung jawab (responsibility) atas perbuatan yang dilakukannya. Hanya orangorang yang mau bertanggung jawab atas tindakannya dan memahami konsekuensi dari tindakannya yang bisa berbuat sejalan dengan prinsip etik yang universal.

3. Penyayang (compassionate) adalah tipe orang yang tidak akan merugikan orang lain, karena dia menyadari memberi kasih sayang pada orang lain adalah juga sama dengan memberi kasih sayang pada diri sendiri. Orang yang melanggar etika adalah orang yang tidak memiliki kasih sayang pada orang lain yang dirugikan akibat perbuatannya yang melanggar hak orang lain.

4. Pemaaf (forgiveness) adalah sifat yang diberikan pada sesama manusia. Orang yang memiliki kecerdasan moral yang tinggi bukanlah tipe orang pendendam yang membalas perilaku yang tidak menyenangkan dengan cara yang tidak menyenangkan pula.

Sebagaimana modal intelektual yang berbasis pada kecerdasan intelektual, modal moral dasarnya adalah kecerdasan moral yang berbasis pada empat kompetensi moral di atas. Modal moral menjadi semakin penting peranannya karena upaya membangun manusia yang cerdas dengan IQ tinggi dan manusia yang pandai mengelola emosinya dalam berhubungan dengan orang lain tidaklah mengantarkan manusia pada kebermaknaan hidup. Kebermaknaan hidup adalah sebuah motivasi yang kuat yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu kegiatan yang berguna. Hidup yang berguna adalah hidup yang memberi makna pada diri sendiri dan orang lain. Selain itu modal moral ini juga memberikan perasaan hidup yang komplet (wholeness). Inilah yang disebut oleh Abraham Maslow dengan “Peak Experience”, perasaan yang muncul karena kedekatan dengan sang Pencipta. Konsep yang demikian ini banyak yang menyebutnya dengan istilah modal spiritual (Sinetar, 2000) dalam Ancok (2002). Stephen Covey (1990) memasukkan bagian dari hal yang bersifat spiritual ini dalam bagian kegiatan manusia yang harus ditingkatkan agar manusia menjadi manusia yang efektif. Bagi orang yang beragama, modal intelektual, modal emosional, modal sosial, modal ketabahan, dan modal moral yang diutarakan di atas adalah bagian dari ekspresi modal spiritual. Semakin tinggi keimanan seseorang semakin tinggi pula kelima modal di atas. Namun demikian banyak orang yang menyarankan agar modal spiritual dipisahkan dari kelima modal di atas, dengan tujuan untuk semakin menekankan betapa pentingnya upaya pengembangan spiritualitas dan keberagamaan manusia. Di mata orang yang berpandangan demikian, agama akan menjadi pembimbing kehidupan agar tidak menjadi egoistik yang orientasinya hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Oleh karena itu upaya untuk mengembangkan keagamaan adalah bagian mutlak dan utama bagi tumbuhnya masyarakat yang makmur dan sejahtera serta aman dan damai.

f. Modal Kesehatan
Badan atau raga adalah wadah untuk mendukung manifestasi semua modal di atas. Badan yang tidak sehat akan membuat semua modal di atas tidak muncul dengan maksimal. Oleh karena itu kesehatan adalah bagian dari modal manusia agar dia bisa bekerja dan berfikir secara produktif. Stephen Covey (1990) dalam bukunya yang berjudul Seven Habits of Highly Effective People, mengatakan bahwa kesehatan adalah bagian dari kehidupan yang harus selalu dijaga dan ditingkatkan kualitasnya sebagai pendukung manusia yang efektif. Bila badan sedang sakit semua sistem tubuh kita menjadi terganggu fungsinya, akibatnya kita jadi malas berfikir dan berbuat (modal intelektual), dan seringkali emosi (modal emosional) kita mudah terganggu kestabilannya, dan seringkali kita mudah menyerah menghadapi tantangan hidup (modal ketabahan). Selain itu semangat untuk berinteraksi dengan orang lain (modal sosial) dengan orang lainpun menjadi berkurang. Jadi ada benarnya kata pepatah “dalam badan yang sehat terdapat jiwa/pikiran yang sehat”. Walaupun banyak kritikan terhadap pernyataan itu, karena ternyata banyak orang gila yang badannya sangat sehat tapi pikirannya sakit, tapi seluruh komponen modal manusia saling berinteraksi satu dengan lain seperti es teh jeruk nipis yang manis, sulit dipisahkan mana yang teh, mana yang jeruk nipis, mana yang gula, dan mana yang air es.

Pengembangan Modal Manusia

Proses pendidikan, termasuk di dalamnya pendidikan dan pelatihan, pada umumnya sangat bersifat individual, dan kurang menekankan pada belajar kelompok. Selain itu proses pendidikan biasanya hanya berfokus pada pengembangan aspek kognitif. Sementara modal manusia adalah bagian dari proses yang tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga bersifat afektif. Modal sosial muncul dari hasil kerjasama antar individu, oleh karenanya pembentukan modal manusia hanya bisa dilakukan dengan efektif apabila melibatkan sejumlah orang yang bekerjasama dalam sebuah kelompok. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa belajar bersama dalam kelompok (learning group) dapat meningkatkan hasil kerja kelompok dan perasaan menyatu dalam organisasi (Cunningham:2002). Sebagai contoh, hasil observasi terhadap dampak Leadership Development Program (LDP) di PT. Caltex Pacific Indonesia beberapa saat setelah program LDP dilaksanakan menunjukkan adanya penguatan modal sosial. Sesama anggota perusahaan merasa lebih akrab dan melihat orang lain sebagai bagian dari sukses perusahaan. Afiatin (2003) melaporkan berbagai hasil penelitian yang melihat dampak penggunaan pelatihan outbound bagi perkembangan kepribadian yang menumbuhkan modal manusia. Selain itu Johnson & Johnson menemukan keberadaan dalam pelatihan telah menumbuhkan nuansa hidup berkomunitas (Ancok, 2002). Salah satu bentuk diklat yang paling efektif adalah pembentukan kerja sama tim (team building exercise) yang dilakukan melalui pelatihan berdasarkan pengalaman di alam terbuka. Pengalaman melaksanakan kegiatan outbound management training menunjukkan bahwa kerja sama tim dan antar tim semakin meningkat pada berbagai organisasi yang menggunakan metode tersebut. Maraknya penggunaan pelatihan di alam terbuka dengan melibatkan belajar dalam kelompok di berbagai perusahaan menunjukkan bahwa metode ini dianggap efektif di dalam membangun kerjasama kelompok. Tidak hanya di lembaga bisnis, kini semakin banyak organisasi pemerintah yang mengembangkan organisasinya melalui penerapan pelatihan kelompok di alam terbuka. Tampaknya pengalaman hidup bersama dalam proses pelatihan ini memupuk pertumbuhan kepribadian yang menjadi pendukung munculnya modal sosial. Pendidikan karakter untuk mengembangkan kemampuan individu agar bisa berinteraksi dengan orang lain juga perlu dilakukan guna peningkatan modal manusia. Pelatihan inteligensi emosional, dan pelatihan untuk membangun kebiasaan positif seperti dalam The seven habits of highly effective people (Covey, 1990) dan pelatihan kecerdasan emosional (Goleman,1996) sangat perlu dilakukan pada masyarakat, apalagi bagi para aparatur pemerintah. Selain melalui pelatihan, modal sosial dapat pula ditingkatkan dengan upaya silaturahmi. Silaturahmi dapat dilakukan dengan membuat kegiatan bersama, misalnya kegiatan olahraga antar unit, saling mengunjungi antar unit, pengajian bersama antar unit, dan sebagainya. Kontak sosial seperti ini diyakini akan lebih menumbuhkan rasa saling kenal mengenal. Tentu upaya seperti ini akan memakan biaya, tetapi perlu disadari bahwa itu adalah sebuah investasi yang akan menghasilkan nilai, yaitu kebersamaan. Namun demikian, yang perlu kita ingat bersama bahwa penunjang kelahiran modal manusia ini sangat ditentukan oleh pendidikan dalam keluarga. Dalam keluarga yang penuh kasih sayang dan saling menghargai, sifat kepribadian yang mendasari pembentukan modal sosial akan mudah tumbuh dan berkembang. Amin.


Sumber Bacaan:
Afiatin, T. (2003). Pengaruh program kelompok AJI dalam peningkatan harga diri, asertivitas
dan pengetahuan mengenai napza untuk prevensi penyalahgunaan napza pada
remaja. Disertasi. Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada.
Ancok, D. (1997). Revitalisasi Sumber Daya Manusia dalam Era Perubahan, Kelola: Gadjah
Mada University Business Review, No.8, 104-117
Ancok, D. (1998). Membangun Kompetensi Manusia dalam Milenium Ketiga, Psikologika,
No. 6, 5-17.
Ancok, D. (2002), Outbound Management Training: Aplikasi Ilmu Perilaku dalam
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jogjakarta: UII Press.
Cohen, D. & Prusak, L. (2001), In Good Company, Boston, Harvard Business School Press
Covey, S.R. (1990), Seven Habits of Highly Effective People, New York, Fireside Book.
Cunningham, I. (2002), Developing human and social capital in organisations, Industrial and
Commercial Training, Vol. 34, No.4. 89-94.
Fattah, Nanang (2004). Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung, Remaja
Rosdakarya.
Goleman, D.(1996), Emotional Intelligence. New York, Bantam Books.
Hawkins, D.I; Best, R.J. & Coney, K.A (1998), Consumer Behavior: Building Marketing
Strategy, McGraw-Hill.
Ross, J. et.al. (1997), Intellectual capital: Navigating the New Business Landscape, New
York, MacMillan.
Schultz, Theodore, W (1961), Investment in Human Capital, The American Economics
Review, No. 51, March 1961.
Tapscott, D. (1996), Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked
Intelligence, New York: McGraw-Hill.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar