Senin, 06 April 2015

Bisnis Di Masa Mendatang


Dalam berbisnis, ada tiga hal dasar utama yang perlu diperhatikan yaitu, ekonomi (economy), etika/sosial (ethics), dan lingkungan (environment). Ketiga unsur ini dikenal juga sebagai The Triple Bottom Line of Business. Banyak perusahaan yang sudah mulai menerapkan ketiga unsur ini ke dalam visi-misi atau kebijakan-kebijakan perusahaan mereka. Selain memberi dampak positif bagi pertumbuhan perusahaan (terutama keuntungan ekonomi jangka panjang – dibuktikan oleh beberapa penelitian), menerapkan strategi ini juga akan membawa manfaat bagi masyarakat dan lingkungan tempat perusahaan tersebut berdiri.
Penjelasan berikut tidak lagi akan menjelaskan mengapa ketiga unsur di atas penting untuk diterapkan, ini semacam hal-hal seperti mengapa seseorang harus berbuat sesuai etika dan mengapa seseorang perlu untuk melestarikan lingkungan, dan oleh karena dirasa sudah tidak perlu lagi untuk dipertanyakan. Di sini penjelasan akan berfokus pada bagaimana cara untuk memaksimalkan upaya dalam memenuhi unsur-unsur di atas, misalnya bagaimana cara untuk membuat sebuah keputusan yang beretika sehingga tidak merugikan banyak orang/pemangku kepentingan (stakeholder), atau membuat produk bisnis yang ramah lingkungan sehingga tidak merusak Bumi. Karena pembahasan akan begitu banyak, akan terfokus dalam membahas unsur lingkungan saja: bagaimana cara melakukan bisnis yang ramah lingkungan?
Sampai saat ini, Bumi adalah satu-satunya planet yang diketahui mampu menampung makhluk hidup seperti kita. Semakin bertumbuhnya jumlah populasi manusia yang kemudian turut berkontribusi terhadap semakin meningkatnya kegiatan produksi barang, menyebabkan daya dukung Bumi menjadi semakin melemah. Hal ini dapat terjadi karena barang yang diproduksi sebagian besar tidak ramah lingkungan. Barang tersebut pada umumnya mengeluarkan zat-zat beracun yang dapat merusak udara, air, dan tanah tempat kita berpijak. Tentu sudah banyak inovasi yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan ini, seperti dibuatnya produk-produk yang eco-friendly, penerapan sistem 3R (Reduce,Reuse, and Recycle), dan sebagainya. Akan tetapi, pertanyaan yang timbul berikutnya adalah, apakah usaha itu sudah cukup?
Dalam penerapan 3R misalnya, slogan yang cukup familiar ini sebenarnya masih mempunyai kekurangan. Dalam tahapan ketiga, yakni recycle, orang-orang pada umumnya melalui proses ini dengan menurunkan kualitas atau fungsi dari barang/material semula. Tidak heran jika proses ini disebut juga sebagai “downcycling”. Kemudian untuk produk-produk yang eco-friendly, meskipun menggunakan label eco-friendly, produk-produk tersebut sedikit-banyaknya masih menggunakan bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan – tentunya dengan kadar yang lebih rendah – dalam proses produksinya. 
Upaya-upaya yang telah ada memang patut untuk diapresiasi, namun kita membutuhkan yang lebih dari itu. Bumi bukan hanya milik kita, tetapi juga milik generasi yang akan datang. Oleh karena itu, ada baiknya kita tidak hanya berhenti pada usaha untuk mengurangi proses perusakan saja, kita harus mencari cara untuk menghentikan hal tersebut – agar generasi mendatang tidak perlu lagi menanggung beban atas kesalahan-kesalahan kita.
Tulisan William McDonough dan Michael Braungart cukup menarik perhatian. Dalam esainya yang berjudul “The Next Industrial Revolution”, mereka menulis gagasan tentang cara-cara untuk memproduksi barang yang ramah lingkungan, cara-cara untuk mendaur ulang material barang produksi agar memiliki kualitas dan fungsi yang sama atau bahkan lebih baik. Meskipun ditulis pada tahun 1998, gagasan-gagasan yang ada di dalamnya menurut saya masih relevan untuk diterapkan hingga masa sekarang. Berikut adalah intisari dari ide-ide McDonough dan Braungart.
Terdapat tiga ide utama yang dikemukakan oleh McDonough dan Braungart, yaitu: Waste Equals Food,Respect DiversityUse Solar Energy. Ide Respect Diversity lebih pada bagaimana mendesain produk-produk ramah lingkungan agar menghargai keunikan yang dimiliki oleh suatu daerah tertentu, sementara itu, sesuai dengan namanya, Use Solar Energy merupakan ide untuk menggunakan energi matahari. Di sini hanya akan dijabarkan ide yang pertama, ide yang cukup menarik dan mungkin masih jarang diterapkan pada masa sekarang.
Waste Equals Food
Dalam tulisannya, McDonough dan Braungart membayangkan proses produksi barang sebagai sebuah siklus kehidupan dari sebuah pohon. Pernahkah kamu melihat bunga sakura yang jatuh ke tanah dan menganggap hal tersebut sebagai sebagai sesuatu yang tidak efisien dan buar? Tidak bukan? Tentu saja, karena bunga sakura yang jatuh ke tanah tidak akan menjadi sampah yang merusak, sebaliknya, bunga tersebut justru akan memberi nutrisi pada lingkungan sekitar tempat ia jatuh. Setiap partikel yang ada di dalam bunga tersebut akan berkontribusi pada terbentuknya ekosistem yang sehat. Kira-kira begitulah gambaran singkat tentang Waste Equals Food: barang atau material-material yang seharusnya menjadi sampah, dapat dialihfungsikan atau didaur ulang menjadi sesuatu yang bisa dimanfaatkan; sesuatu yang berguna yang memiliki fungsi dan kualitas yang setara atau bahkan lebih baik dari barang sebelumnya.
Lalu bagaimana hal ini dapat diterapkan dalam proses pabrikasi bisnis yang ramah lingkungan?
Untuk memulainya, ketahuilah bahwa terdapat dua jenis nutrisi yang dapat menyusun sebuah produk, yaitu nutrisi yang mudah terurai secara biologis (selanjutnya disebut bahan biologis), dan nutrisi yang tidak dapat terurai secara biologis (selanjutnya disebut bahan teknis). Setiap produk pada umumnya terdiri atas kedua jenis bahan ini, dan untuk menciptakan produk yang ramah lingkungan, kedua jenis bahan ini harus diberi perlakuan yang berbeda – dan jangan sampai terjadi kontaminasi silang diantara keduanya.
Pertama-tama, untuk bahan yang mudah terurai secara biologis, pastikanlah bahwa bahan tersebut tidak mengandung zat-zat seperti mutagen, karsinogen, logam berat, pengganggu hormon endoktrin (endoctrine disrupters), maupun zat-zat lain yang sifatnya beracun dan bio-akumulatif. Hal ini misalnya bisa diterapkan pada saat membuat kemasan produk maupun isi produk (misalnya sampo, pasta gigi, dan sebagainya). Pastikanlah bahwa kemasan maupun isi produk tersebut terhindar dari zat-zat yang saya sebutkan sebelumnya, sehingga menjadi tidak berbahaya ketika dilepaskan ke udara, tanah, atau air – dan tentu saja dapat terdekomposisi secara biologis dalam waktu yang relatif singkat. Proses ini sudah banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan kontemporer, beberapa tokoh sudah mulai menggunakan kemasan/kantong yang mudah terurai secara biologis. Meskipun begitu, masih perlu dipertanyakan apakah kemasan/kantong tersebut masih mengandung zat-zat seperti di atas atau tidak.
Berikutnya adalah bahan yang tidak dapat terurai secara biologis, atau disebut juga sebagai bahan teknis. Zat-zat berbahaya yang saya sebutkan sebelumnya pada umumnya terdapat pada bahan teknis. Maka dari itu, sangat penting untuk menjaga agar tidak terjadi kontaminasi silang diantara bahan biologis dan bahas teknis dari sebuah produk. Sebelum mulai membuat sebuah produk yang terdiri atas bahan teknis, pastikanlah bahwa produk tersebut didesain untuk dapat bersirkulasi dalam siklus yang tertutup (closed-loop). Artinya, produk tersebut memilik kualitas yang baik sehingga dapat kembali didaur ulang untuk fungsi yang sama atau bahkan dengan kualitas yang lebih baik dari sebelumnya.
McDonough dan Braungart mencontohkan proses penerapan hal di atas pada bisnis karpet yang dijalankan oleh perusahaan Interface. Karpet yang diproduksi oleh Interface terdiri atas dua jenis bahan, yaitu bahan teknis untuk tubuh karpet dan bahan biologis untuk pewarnaan dan teksturnya. Perusahaan ini sedari awal telah mendesain tubuh karpet – yang terdiri dari bahan teknis – tersebut untuk dapat kembali di daur ulang. Oleh karena itu, ketika karpet yang dibeli oleh seorang konsumer mulai lusuh, ia dapat kembali menghubungi perusahaan Interface untuk memperbarui karpet miliknya dengan pewarnaan, tekstur, maupun gaya yang baru – yang tentu saja terdiri atas bahan-bahan biologis yang mudah terurai dan tidak mengandung bahan beracun. Siklus ini dapat terus berulang dan bahkan konsumen dapat meminta untuk meng-upgrade karpet miliknya dengan kualitas yang lebih baik. Dalam proses ini, perusahaan tetap memiliki material karpet (baik teknis maupun biologis), tetapi menyewakan serta menjaga kualitasnya; mereka menyediakan ‘jasa karpet’ terhadap konsumen.
From Product to Service
Pembaca mungkin telah menyadari bahwa aplikasi bisnis ramah lingkungan seperti di atas memerlukan manajemen yang khusus. Ya, satu hal penting yang dapat ditarik dari penjabaran tersebut: model bisnis masa depan akan beralih dari produk ke jasa. Perusahaan tidak lagi menjual produk kepada konsumen untuk digunakan dan dibuang begitu saja, akan tetapi, mereka menjual jasa dengan menyewakan dan menjaga kualitas produknya agar sesuai dengan permintaan konsumen. Hal ini menjadi penting karena bagaimanapun, perusahaan yang memproduksi produk seharusnya merupakan pihak yang  paling mengetahui seluk-beluk tentang produk itu sendiri. Termasuk diantaranya cara merawat serta menjaga agar produk tersebut tidak merusak lingkungan.
Oleh karena itu sangatlah perlu untuk ditekankan agar seseorang yang ingin memulai sebuah bisnis memiliki wawasan yang luas dan mendalam tentang produknya, berikut implikasinya terhadap lingkungan. Dan tentu saja, yang juga tak kalah penting ialah ia harus memiliki integritas untuk berlaku sesuai etika agar segala keputusan bisnisnya tidak merugikan orang lain.
-dikutip dari artikel tulisan Aldrin Rocky Sampelilin Anggota Jurnalis Muda Koran SINDO (Gensindo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar