Rabu, 15 April 2015

Review Pertemuan II Psikologi Industri mengenai "Job Analysis & Competency Modelling"

Pada pertemuan kedua mata kuliah Psikologi Industri ini saya akan mereview mengenai Job analysis & Competency Modelling hal ini tentulah sangat menarik karena kami yang juga merupakan seorang pekerja dapat melihat bagaimana sebuah perusahaan berproses dalam merekrut seroang pekerjanya, baik dari aspek  SDM instansi perusahaan maupun aspek yang harus diperhatikan oleh pelamar, hal ini juga akan menjadi bekal bagi kami para mahasiswi yang nantinya akan kembali melamar pekerjaan dan kembali mengolah CV kami setelah lulus dari sarjana.

Berbicara mengenai Job analysis & Competency Modelling atau sederhananya dapat diartikan sebagai analisa jabatan atau deskripsi jabatan serta spesifikasi kompetensi dari suatu jabatan, berbicara mengenai masalah ini akan merujuk pada performance seorang pekerja dalam memegang sebuah jabatan yang dipangkunya, selama ini pasti kita berfikir bahwa performa yang kita tunjukan dalam pekerjaan akan membawa kita pada "happyness" atau kebahagiaan padahal yang sesungguhnya dan sebenarnya terjadi adalah performa yang kita tunjukan merupakan sebuah implikasi dari kebahagiaan yang kita dapatkan atau rasakan dari pekerjaan yang kita miliki. Performance yang baik adalah dimana kita dapat menunjukan kualitas performa dengan kita mengetahui apa yang kita inginkan dan kita tuju.

Berbicara mengenai Job Analysis & Competency Modelling maka juga tidak lepas dari kata Organisasi yang singkatnya merupakan sebuah kelompok berstruktur yang memiliki tujuan yang sama dan merupakan dasar dari sebuah instansi, jabatan ataupun pekerjaan, dalam uraian blog ini juga sudah dijelaskan dan disinggung sedikit mengenai Organisasi dalam sebuah pekerjaan atau perusahaan, dalam sebuah organisasi tentulah ada manusia yang merupakan tokoh sentral yang amatlah penting dari sebuah organisasi, dimana tokoh sentral tersebut dalam hal ini seseorang akan bertemu dengan orang lain dan mengadakan sebuah interaksi, tokoh yang saling berinteraksi ini kemudian memiliki tujuan untuk membangun organisasi tersebut dan akan muncul yang disebut dengan visi dan misi yakni tujuan ke depan, akan jadi apa organisasi ini kedepannya, bisa juga dibilang sebagai pengharapan, ekspektasi, sehingga dengan memiliki visi misi membuat hidup kita memiliki motivasi untuk terus maju dan berkembang.

Dalam penentuan visi misi sebuah organisasi ataupun perusahaan maka penting untuk memasukkan beberapa aspek yang akan membangun sebuah organisasi atau perusahaan tersebut menjadi berkembang dan maju, dalam hal ini sebuah visi misi akan baik jika mengandung atau include unsur SMART didalamnya, apakah SMART itu? pada uraian di blog ini sebelumnya juga sudah dibahas mengenai unsur-unsur yang terkandung dalam SMART yakni (Specific, Measurable, Attainable, Relevant, Timely) untuk penjelasan masing-masing aspek dapat dibaca pada uraiannya dalam blog ini mengenai unsur-unsur SMART tersebut.

Kembali membahas mengenai interaksi antar manusia yang terjadi di dalam sebuah organisasi atau kelompok jika digambarkan maka organisasi adalah sebuah lingkaran dimana didalamnya terdapat "poeple" orang-orang berinteraksi di dalamnya secara terstrukturdalam sebuah sistem dalam lingkaran tersebut, dimana sistem tersebut juga di sanggah atau di dukung oleh pilar-pilah salah satunya adalah teknologi yang mempermudah manusia dalam berkomunikasi atau berinteraksi, aspek-aspek tersebut saling berkaitan dan berkesinambungan membentuk komunikasi dalam mengejar tujuan yang memang sudah ditargetkan bersama, dan berujung dengan diikat pada pencapaian nilai atau value pada bagian terluar, dimana nilai-nilai tersebut diyakini oleh orang-orang dalam sistem tersebut dapat mencapai tujuan yang mereka inginkan dan rencanakan. Mengapa aspek komunikasi sangatlah penting dalam sistem organisasi, karena percaya atau tidak permasalahan utama yang sering terjadi di dunia ini adalah karena komunikasi dan jenis komunikasinya adalah komunikasi non-verbal. Oleh karena itu hal inilah yang harus diperhatikan dalam berkomunikasi atau berinteraksi. Jangan sampai karena kita kurang bijak dalam berkomunikasi non-verbal dengan kata lain kurang peka dengan keadaan sekitar menjadikan sebuah permasalahan utama yang akan mengganjal atau sandungan dalam menata karir kita di masa depan.

Berbicara mengenai Job Analysis and Competency Modelling juga tidak akan lepas dari kata karir, yakni pada masa sekarang ini dengan persaingan ketat semakin banyak tenaga kerja yang bermunculan, dan profesi pekerjaan juga tidak bertambah cukup banyak maka karir kita di masa depan akan tergantung oleh kompetisi yang kita miliki dan kemampuan kita untuk mengembangkan kompetensi yang kita punya, istilahnya nilai jual kita dalam berkarir ditentukan oleh diri kita sendiri.

Dalam sebuah organisasi atau perusahaan pasti ada pemimpin, dimana seorang pemimpin pastilah membawa peranan penting dalam sebuah organisasi atau perusahaan yang dipimpinnya, karena seorang pemimpin lah yang akan membawa sebuah organisasi atau perusahaan pada sebuah kemajuan atau kehancuran, kebijakan dan peraturan dari pemimpinlah yang akan membentuk suatu perusahaan atau organisasi, aspek penting yang sangat krusial dari seorang pemimpin selain adil, bijaksana, cerdas adalah sebuak konsistensi, mengapa? karena seorang pemimpin yang tidak konsisten tentulah tidak akan dihargai oleh anak buah atau bawahannya, dimana hal tersebut akan menjadi sebuah kehancuran dari seorang pemimpin dan perusahaan yang dipimpinnya, konsistensi dalam hal ini dapat berupa sebuah keputusan, ucapan ataupun kebijakan.

Kembali membahas mengenai masalah performance, seperti pada penjelasan sebelumnya dimana performa bukanlah tujuan akhir dari sebuah komunikasi ataupun interaksi melainkan performa adalah dampak dari tercapai atau tidaknya sebuah interaksi, karena ketika kita bekerja dengan sebuah rasa kebahagiaan dan kepuasan yang kita tuju adalah aspek trust yakni kepercayaan atau kejujuran, serta integrity yang tinggi, sehingga akan lebih mudah mencapai main goal yang sudah kita tetapkan atau targetkan. sedangkan sebaliknya jika kita bekerja bukan karena kita cinta dan bahagia dengan pekerjaan kita maka kita tidak akan mencapai atau sulit untuk mencapai main goal yang kita tentukan, karena yang ada di pikiran kita hanyalah bagaimana cara menunjukan performa baik bagaimanapun caranya atau jalannya, hal inilah yang akan merusak sisi positif pikiran kita, jiwa kita menjadi kotor dan jauh dari kata bahagia, yang juga akan berdampak pada performa yang terlihat.

Pada bahasan mengenai Job Analysis & Competency Modelling proses seleksi ketenagakerjaan juga merupakan hal yang menarik untuk dibahas, karena sekarang ini perusahaan sudah menerapkan human capital yakni menganggap bahwa manusia adalah aset penting suatu perusahaan yang akan menetukan sebuah perusahaaan berjalan baik atau tidak hal ini ditentukan oleh manusia yang bekerja di dalamnya, sehingga inilah tugas dari manajemen sumber daya manusia (SDM) suatu perusahaan untuk me maintance para manusia yang bekerja di dalam manajemen perusahaannya agar terjaga performanya, sehingga kualitas dari perusahaan juga akan terus meningkat dan berkembang.

Berbicara mengenai kesuksesan sebuah perusahaan maka kita bisa berkaca pada perusahaan yang melejit di amerika yakni ZAPPOS yakni forwarding company yang dapat meraih predikat perusahaan terbaik no.1 di amerika hanya dalam kurun waktu satu tahun, jika dikulik hal ini cukup menarik karena sulit sekali untuk mencapai predikat sebagai perusahaan no.1 dan dalam kurun waktu yang begitu singkat, hal inilah yang harusnya di contoh oleh perusaahn-perusahaan terutama dalam bidang jasa jika ingin perusahaanya juga melejit seperti ZAPPOS ini, tentulah kesuksesan ZAPPOS ini berasal dari aspek terkecil yakni pekerja di dalam perusahaan tersebut yang menunjukan performa sebagai implikasi dari kebahagiaan dalam pekerjaan yang dijalaninya, sehingga para pengguna zappos juga merasa puas menggunakan jasa perusahaan ini dan akibatnya dalam waktu singkat perusahaan ini meraih untung berkali lipat, serta mendapat predikat perusahaan terbaik dalam bidang jasa.

Kembali membahas mengenai karir di masa depan maka karir sendiri terbagi menjadi dua yakni karir struktural dan spesialis dimana pada karir struktural seorang pekerja akan berkarir bersama tim dalam membangun sebuah perusahaan dan mencapai main goal dari perusahaan tersebut, sedangkan pada karir spesialis seorang pekerja merupakan spesialis yang sangat ahli dlam bidangnya, biasanya seseorang yang berkarir dalam bidang spesialis bekerja sendiri dalam berkarir. Tentulah kita dapat menetukan kita ingin menekuni karir seperti apa, tapi yang terpenting dari itu semua, karir apapun yang ingin kita ambil kita harus menampilkan performa yang merupakan implikasi dari cintanya dan bahagianya kita dari pekerjaan yang kita miliki, hal inilah yang akan membawa kita mencapai main goal pada karir kita. 



Selasa, 14 April 2015

Human Capital


MEMAHAMI KONSEP MODAL MANUSIA (HUMAN CAPITAL CONCEPT)

Pendahuluan

Menelusuri tahun demi tahun di abad 21 ini persaingan di semua sektor semakin ketat. Untuk memenangkannya, setiap organisasi, sektor privat maupun publik, harus memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage) tertentu dibandingkan dengan organisasi lainnya. Keunggulan ini dapat dibentuk melalui berbagai cara, seperti menciptakan produk dengan desain yang unik, penggunaan teknologi modern, desain organisasi, dan yang terpenting adalah manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) secara efektif. Produk yang dimaksud disini tentunya tidak hanya berupa barang yang tangible tetapi juga jasa atau layanan yang intangible. Khusus dalam konteks manajemen SDM, pimpinan perlu meningkatkan berbagai potensi SDM agar mampu memberdayakannya secara optimal dalam mencapai kinerja. Sehingga mampu mendudukkan organisasi pada posisi yang lebih baik dibandingkan dengan organisasi lainnya. Pengembangan SDM bagi organisasi pada hakekatnya adalah investasi. Investasi dalam pengembangan SDM merupakan pengeluaran yang ditujukan untuk memperbaiki kapasitas produktif dari manusia, melalui upaya peningkatan kesehatan, pendidikan dan pelatihan kerja. Alasan logis yang dapat dikemukakan adalah bahwa tenaga kerja yang sehat, terdidik, dan  terampil akan menjadi angkatan kerja yang produktif, dan selanjutnya peningkatan produktifitas berarti peningkatan returns. Dengan manajemen SDM yang baik, organisasi akan memiliki kekuatan kompetitif dan akan menjadi sulit untuk ditiru, sehingga sumber-sumber keberhasilan kompetitif tradisional seperti teknologi proses produksi, proteksi pasar, akses terhadap sumber keuangan dan skala ekonomi seharusnya menjadi lebih berdaya guna. Dalam bidang manufaktur, adalah hal penting melakukan investasi pada modal yang berupa peralatan untuk tetap kompetitif dan menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi. Membiarkan pabrik dan mesin-mesin menjadi usang merupakan malapetaka bagi perusahaan. Tetapi, modal peralatan tidak dapat beroperasi secara efisien bila para operator tidak kapabel dan terampil. Hal ini semakin penting untuk ditekankan, mengingat perubahan teknologi terjadi sangat cepat yang menyebabkan peralatan cepat usang. Investasi dalam teknologi juga hanya memberikan keunggulan kompetitif yang terbatas, seperti yang dikatakan oleh Pfeffer dalam Mangkunegara (2005;110) “machine
don’t make things, people do”. Adalah konsekuensi logis bahwa untuk membuat organisasi mempunyai daya kompetitif yang berkelanjutan (sustainable) dan lebih sulit untuk ditiru, investasi dalam sumber daya ekonomi yang paling berharga, yaitu manusia, tidak dapat ditunda lagi. Semakin disadari bahwa ancaman nyata terbesar terhadap stabilitas perekonomian kita adalah angkatan kerja yang tidak siap (workforce illguipped) untuk menghadapi tantangan-tantangan yang sudah semakin dekat di depan mata. Pidato Theodore, W. Schultz pada tahun 1960 yang berjudul Investment in Human Capital di hadapan para ahli ekonomi dan pejabat yang tergabung dalam American Economic Assosiation merupakan peletak dasar teori atau konsep modal manusia (human capital concept). Konsep ini pada intinya menganggap bahwa manusia merupakan suatu bentuk modal atau kapital sebagaimana bentuk-bentuk kapital lainnya, seperti mesin, teknologi, tanah, uang, dan material. Manusia sebagai human capital tercermin dalam bentuk pengetahuan, gagasan (ide), kreativitas, keterampilan, dan produktivitas kerja. Tidak seperti bentuk kapital lain yang hanya diperlakukan sebagai tools, human capital ini dapat menginvestasikan dirinya sendiri melalui berbagai bentuk investasi SDM, diantaranya pendidikan formal, pendidikan informal, pengalaman kerja, kesehatan, dan gizi serta
transmigrasi (Fattah, 2004).

Konsep Modal Manusia

Modal manusia adalah komponen yang sangat penting di dalam organisasi. Manusia dengan segala kemampuannya bila dikerahkan keseluruhannya akan menghasilkan kinerja yang luar biasa. Ada enam komponen dari modal manusia, yakni: (1) Modal intelektual; (2) Modal emosional; (3) Modal sosial; (4) Modal ketabahan, (5) Modal moral; dan (6) Modal kesehatan (Ancok,2002). Keenam komponen modal manusia ini akan muncul dalam sebuah kinerja yang optimum apabila disertai oleh modal kepemimpinan dan modal struktur organisasi yang memberikan wahana kerja yang mendukung.

a. Modal intelektual (intellectual capital)
Modal intelektual adalah perangkat yang diperlukan untuk menemukaan peluang dan mengelola ancaman dalam kehidupan. Banyak pakar yang mengatakan bahwa modal intelektual sangat besar peranannya di dalam menambah nilai suatu kegiatan. Organisasi yang unggul dan meraih banyak keuntungan adalah organisasi yang terus menerus mengembangkan sumberdaya manusianya (Ross dkk., 1997). Manusia memiliki sifat proaktif dan inovatif untuk mengelola perubahan lingkungan kehidupan (ekonomi, sosial, politik, teknologi, hukum dan lain-lain) yang sangat tinggi kecepatannya. Mereka yang tidak beradaptasi pada perubahan yang super cepat ini akan dilanda kesulitan. Don Tappscott (1998) pada bukunya yang berjudul “Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence” mengemukakan 12 tema ekonomi baru akibat dari meluasnya pengaruh internet. Salah satu tema ekonomi baru itu adalah tema ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy). Implementasinya adalah hanya pegawai yang memiliki pengetahuan yang luas dan terus menambah pengetahuan yang dapat beradaptasi dengan kondisi perubahan lingkungan strategik yang luar biasa cepatnya. Pada awal tahun 1920 para psikolog banyak membicarakan konsep IQ (Intelligence Quotient) sebagai satu-satunya indikator kecerdasan, dengan asumsi bahwa mereka yang memiliki IQ yang tinggi akan memiliki kemampuan untuk memecahkan permasalahan kehidupan. Orang yang memiliki IQ yang tinggi diduga akan cepat menguasai pengetahuan karena kecepatan daya pikir yang dimilikinya. Namun selain memiliki angka kecerdasan yang tinggi, seseorang baru akan memiliki pengetahuan yang luas apabila dia memiliki kebiasaan untuk merenung tentang kejadian alam semesta ini dan mencari makna dari setiap fenomena yang terjadi tersebut. Kebiasaan merenung dan merefleksikan sebuah fenomena inilah yang membuat orang menjadi cerdas. Oleh karena modal intelektual terletak pada kemauan untuk berfikir dan kemampuan untuk memikirkan sesuatu yang baru, maka modal intelektual tidak selalu ditentukan oleh tingkat pendidikan formal yang tinggi. Dalam sejarah tercatat bahwa yang menemukan gagasan tentang elevator di luar gedung pada gedung tinggi hanyalah seorang cleaning service. Ceritanya bermula dari keinginan para insinyur untuk membuat elevator dalam sebuah hotel karena kamar di lantai tiga dan di lantai empat tidak laku dijual. Gagasan awal adalah menjebol lantai untuk membuat elevator di dalam bangunan hotel. Tapi gagasan itu ditolak bagian cleaning service karena mereka akan bekerja lebih banyak membersihkan debu yang berterbangan ke seluruh lantai. Untuk menghindari hal tersebut pegawai cleaning service menyarankan agar elevator di buat di luar gedung. Itulah awalnya gagasan adanya lift capsule yang turun naik di luar dinding gedung.

b. Modal Emosional (emotional capital)
Goleman (1997) menggunakan istilah emotional intelligence untuk menggambarkan kemampuan manusia untuk mengenal dan mengelola emosi diri sendiri, serta memahami emosi orang lain agar dia dapat mengambil tindakan yang sesuai dalam berinteraksi dengan orang lain. Menurut Bradberry & Greaves (2005) dalam Ancok (2005), terdapat empat dimensi dari kecerdasan emosional yakni:

1. Self Awareness adalah kemampuan untuk memahami emosi diri sendiri secara tepat dan akurat dalam berbagai situasi secara konsisten. Bagaimana reaksi emosi di saatmenghadapi suatu peristiwa yang  emosi, sehingga seseorang dapatmemahami respon emosi dirinya sendiri dari segi positif maupun segi negatif.

2. Self Management adalah kemampuan mengelola emosi secara baik, setelah memahami emosi yang sedang dirasakannya, apakah emosi positif atau negatif. Kemampuan mengelola emosi secara positif dalam berhadapan dengan emosi diri sendiri akan membuat seseorang dapat merasakan kebahagiaan yang maksimal.

3. Social Awareness adalah kemampuan untuk memahami emosi orang lain dari tindakannya yang tampak. Ini adalah kemampuan berempati, memahami dan merasakan perasaan orang lain secara akurat. Dengan adanya pemahaman ini individu sudah memiliki kesiapan untuk meenanggapi situasi emosi orang lain secara
positif.

4. Relationship Management adalah kemampuan orang untuk berinteraksi secara positif pada orang lain, betapapun negatifnya emosi yang dimunculkan oleh orang lain. Kemampuan mengelola hubungan  dengan orang lain secara positif ini adalah hasil dari ketiga dimensi lain dari kecerdasan emosi (self awareness, self
management and sosial awareness). Orang yang memiliki modal emosional yang tinggi memiliki sikap positif di dalam menjalani kehidupan. Dia memiliki pikiran positif (positive thinking) dalam menilai sebuah fenomena kehidupan betapapun buruknya fenomena tersebut di mata orang lain. Ketika menghadapi perbedaan pendapat, orang yang memiliki modal emosional yang baik akan menyikapinya dengan positif, sehingga diperoleh manfaat yang besar bagi pengembangan diri, atau pengembangan sebuah konsep. Modal intelektual akan berkembang atau terhambat perkembangannya sangat ditentukan oleh modal emosional.
Orang yang hatinya terbuka dan bersikap positif dan terbuka serta menghindari pernilaian negatif atas sebuah pemikiran orang lain akan memperoleh manfaat dari perbedaan pendapat. Banyak penelitian menunjukkan bahwa inteligensi emosional ini lebih menentukan kesuksesan hidup seseorang dibanding dengan IQ. Beberapa tahun terakhir ini makin banyak pembicaraan tentang pentingnya peranan inteligensi emosional (emotional intelligence) dalam menunjang kesuksesan hidup manusia.

c. Modal Sosial (social capital)
Istilah modal sosial pertama kali muncul di tahun 1916 di saat ada diskusi tentang upaya membangun pusat pembelajaran masyarakat (Cohen & Prusak,2001). Pembahasan tentang konsep modal sosial semakin hangat setelah munculnya tulisan Robert Putnam (1993) dalam Ancok (1998) yang menggambarkan kualitas kehidupan masyarakat Amerika yang makin menurun dalam hal kelekatan antar sesama warga. Munculnya tulisan-tulisan lain tentang modal sosial adalah suatu respon terhadap semakin merenggangnya hubungan antar manusia, dan semakin melemahnya ketidakpedulian terhadap sesama manusia. Fukuyama (1995) dalam Ancok (1998) sangat khawatir tentang masa depan komunitas manusia yang diutarakannya seperti berikut: “We no longer have realistic hopes that we can create a “great society” through large government program”. Kehadiran masyarakat yang menekankan kehidupan hanya pada pertumbuhan ekonomi seperti yang diutarakan oleh Wachtel (1989) dalam Ancok (1997) telah menghantarkan manusia pada kehancuran. Dalam pandangan Fukuyama (1995) transisi dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi semakin
memperenggang ikatan sosial dan melahirkan banyaknya patologi sosial seperti meningkatnya angka kejahatan, anak-anak lahir di luar nikah dan menurunnya kepercayaan pada sesama komponen masyarakat. Dalam upaya membangun sebuah bangsa yang kompetitif peranan modal sosial semakin penting. Banyak kontribusi modal sosial untuk kesuksesan suatu masyarakat. Dalam era informasi yang ditandai semakin berkurangnya kontak tatap muka (face to face relationship), modal sosial sebagai bagian dari modal maya (virtual capital) akan semakin menonjol peranannya (Ancok, 1998). Pandangan para ahli dalam mendefinisikan konsep modal sosial dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama menekankan pada jaringan hubungan sosial (social network), sedangkan kelompok kedua lebih menekankan pada karakteristik (traits) yang melekat (embedded) pada diri individu manusia yang terlibat dalam sebuah
interaksi sosial. Pendapat kelompok pertama ini didukung oleh para beberapa ahli. Brehm & Rahn (1997) dalam Ancok (2002) berpendapat bahwa modal sosial adalah jaringan kerjasama di antara warga masyarakat yang memfasilitasi pencarian solusi dari permasalahan yang dihadapi mereka. Definisi lain dikemukakan oleh Pennar (1997) dalam Ancok (2002) “the web of social relationships that influences individual behavior and thereby affects economic growth” (jaringan hubungan sosial yang mempengaruhi perilaku individual dan yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi). Woolcock (1998) dalam Ancok (2002)
mendefinisikan modal sosial sebagai “the information, trust, and norms of reciprocity inhering in one’s social networks”. Cohen dan Prusak (2001:3) berpendapat bahwa ”Social capital consists of the stock of active connections among people: the trust, mutual understanding and shared values and behaviours that bind the members of human networks and communities and make cooperative action possible”. (Modal sosial adalah kumpulan dari hubungan yang aktif di antara manusia: rasa percaya, saling pengertian dan kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan kerja dan komunitas yang memungkinkan adanya kerjasama). Pandangan kelompok pertama menekankan pada aspek jaringan hubungan sosial yang diikat oleh kepemilikan informasi, rasa percaya, saling memahami, dan kesamaan nilai, dan saling mendukung. Menurut pandangan kelompok ini modal sosial akan semakin kuat apabila sebuah komunitas atau organisasi memiliki jaringan hubungan kerjasama, baik secara internal komunitas/organisasi, atau hubungan kerjasama yang bersifat antar komunitas/organisasi. Jaringan kerja sama yang sinergistik yang merupakan modal sosial akan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan bersama. Pendapat ahli dari kelompok kedua diwakili antara lain oleh Fukuyama (1995) dalam Ancok (1998) yang mendefinisikan modal sosial sebagai berikut: “social capital: the ability of people to work together for common purposes in groups and organizations”. Dengan bahasa yang lain Fukuyama menjelaskan bahwa “Social capital can be defined simply as the existence of a certain set of informal values or norms shared among members of a group that permit cooperation among them. (Modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka). Sejalan dengan pendapat Fukuyama, Bowles & Gintis (2000) dalam Ancok (2002) mendefinisikan modal sosial sebagai berikut: ”Social capital generally refers to trust, concern for one’s associates, a willingness to live by the norms of one’s community and topunish those who do n ot”.Organisasi adalah kumpulan sejumlah manusia yang bekerja sama untuk mencapai tujuan organisasi. Selain itu sebuah organisasi harus bekerja sama dengan organisasi lain untuk mencapai kesuksesan yang lebih besar. Kerjasama dengan organisasi lain ini diwujudkan dalam sebuah aliansi strategik (strategic alliances), atau dalam sebuah penggabungan (merger) organisasi. Modal sosial adalah dasar bagi terbentuknya sinergi
di dalam melaksanakan tugas organisasi. Dengan bersinergi dapatlah diperoleh hasil kerja yang lebih besar, jika dibandingkan dengan bekerja sendiri-sendiri. Modal intelektual baru akan berkembang bila masing-masing orang berbagi wawasan. Untuk dapat berbagi wawasan orang harus membangun jaringan hubungan sosial dengan orang lainnya. Kemampuan membangun jaringan sosial inilah yang disebut dengan modal sosial. Semakin luas pergaulan seseorang dan semakin luas jaringan hubungan sosial (social networking) semakin tinggi nilai seseorang. Modal sosial dimanifestasikan pula dalam kemampuan untuk bisa hidup dalam perbedaan dan menghargai perbedaan (diversity). Pengakuan dan penghargaan atas perbedaan adalah suatu syarat tumbuhnya kreativitas dan sinergi. Kemampuan bergaul dengan orang yang berbeda, menghargai dan memanfaatkan secara bersama perbedaan tersebut akan memberikan kebaikan buat semua.

d. Modal Ketabahan (adversity capital)
Konsep modal ketabahan berasal dari pandangan Paul G. Stoltz (1997) dalam Ancok (2002) yang ditulis dalam buku Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities. Ketabahan adalah modal untuk sukses dalam kehidupan, apakah itu kehidupan pribadi ataukah kehidupan organisasi. Ketika menghadapi kesulitan atau problem yang belum terpecahkan, hanya mereka yang tabah yang akan berhasil menyelesaikannya. Berdasarkan perumpamaan pada para pendaki gunung, Stoltz membedakan tiga tipe manusia: quitter, camper dan climber. Tipe pendaki gunung yang mudah menyerah dinamainya dengan quitter, yakni orang yang bila berhadapan dengan masalah memilih untuk melarikan diri dari masalah dan tidak mau menghadapi tantangan guna menaklukkan masalah. Orang seperti ini akan sangat tidak efektif dalam menghadapi tugas kehidupan yang berisi tantangan. Demikian pula dia tidak efektif sebagai pekerja sebuah organisasi bila dia tidak kuat. Tipe camper adalah tipe yang berusaha tapi tidak sepenuh hati. Bila dia menghadapi sesuatu tantangan dia berusaha untuk mengatasinya, tapi dia tidak berusaha mengatasi persoalan dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Dia bukan tipe orang yang akan mengerahkan segala potensi yang dimilikinya untuk menjawab tantangan yang dihadapinya. Bila tantangan persoalan cukup berat dan dia sudah berusaha mengatasinya tapi tidak berhasil, maka dia akan melupakan keinginannya dan beralih ke tempat lain yang tidak memiliki tantangan seberat itu. Tipe ketiga adalah climber yang memiliki stamina yang luar biasa di dalam menyelesaikan masalah. Dia tipe orang yang pantang menyerah sesulit apapun situasi yang dihadapinya. Dia adalah pekerja yang produktif bagi organisasi tempat dia bekerja. Orang tipe ini memiliki visi dan cita-cita yang jelas dalam kehidupannya. Kehidupan dijalaninya dengan sebuah tata nilai yang mulia, bahwa berjalan harus sampai ke tujuan. Orang tipe ini ingin selalu menyelesaikan pekerjaan dengan tuntas (sense of closure) dengan berpegang teguh pada sebuah prinsip etika. Dia bukan tipe manusia yang ingin berhasil tanpa usaha. Bagi dia hal yang utama bukanlah tercapainya puncak gunung, tetapi adalah keberhasilan menjalani proses pendakian yang sulit dan menegangkan hingga mencapai puncak.

e. Modal Moral (morality capital)
Banyak penelitian menunjukkan bahwa kinerja organisasi sangat tergantung pada sejauh mana organisasi tersebut berpegang pada prinsip etika bisnis di dalam kegiatan bisnis yang dilakukannya. Untuk berperilaku sesuai dengan kaidah etik, organisasi memiliki berbagai perangkat pendukung etik, yang salah satunya adalah manusia yang memiliki moral yang mengharamkan perilaku yang melanggar etik. Kehancuran dan kemunduran berbagai perusahaan besar di USA seperti Enron (perusahaan listrik terbesar), dan Arthur Anderson (perusahaan konsultan keuangan yang beroperasi di seluruh dunia) disebabkan oleh perilaku bisnis yang melanggar etika bisnis. Kasus krisis keuangan di Indonesia tahun 1997-1978 yang membuat perbankan
Indonesia bangkrut karena kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) disebabkan oleh perilaku para pemain bisnis yang tidak berpegang pada etika bisnis. Demikian pula dengan kasus Bank Century yang menghebohkan juga disebabkan oleh perilaku para pemain bisnis yang tidak jujur (atau tidak beritikad baik?) menyampaikan informasi, yang mengakibatkan keputusan bailout dianggap bermasalah. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa organisasi yang berpegang pada prinsip etika memiliki citra yang baik. Citra ini tidak hanya membuat orang suka membeli produk dan jasa organisasi tersebut, tetapi juga membuat harga saham di pasar bursa meningkat secara signifikan. Selain itu organisasi yang berperilaku etika juga akan menarik banyak calon pekerja yang berkualitas untuk melamar menjadi pekerja di perusahaan tersebut. Sebaliknya kalau sebuah organisasi melakukan perilaku yang melanggar etika bisnis maka kerugianlah yang akan dialaminya. Sepatu merk Nike kehilangan banyak pembeli setelah ada publikasi yang luas mengenai anak-anak di bawah umur yang bekerja di perusahaan Nike yang berlokasi di negara-negara berkembang (Hawkins et.al ,1998). Modal moral telah banyak dibicarakan oleh para ahli. Salah satu buku yang membicarakan aspek modal ini adalah Moral Intelligence: Enhancing Business Performance and Leadership Success yang ditulis oleh Doug Lennick & Fred Kiel (2005). Keduanya dalam Ancok (2002) telah menyusun alat pengukur Moral Competency Inventory (Inventori untuk mengukur kompetensi moral).

Terdapat empat komponen modal moral yang membuat seseorang memiliki kecerdasan moral yang tinggi yaitu:
1. Integritas (integrity), yakni kemauan untuk mengintegrasikan nilai-nilai universal di dalam perilaku. Individu memilih berperilaku yang tidak bertentangan dengan kaidah perilaku etikal yang universal. Orang berperilaku atas keyakinan bahwa perilaku dalam bekerja yang etikal adalah sesuatu yang harus dilakukan dan akan membuat dirinya bersalah jika hal itu dilakukan.

2. Bertanggung jawab (responsibility) atas perbuatan yang dilakukannya. Hanya orangorang yang mau bertanggung jawab atas tindakannya dan memahami konsekuensi dari tindakannya yang bisa berbuat sejalan dengan prinsip etik yang universal.

3. Penyayang (compassionate) adalah tipe orang yang tidak akan merugikan orang lain, karena dia menyadari memberi kasih sayang pada orang lain adalah juga sama dengan memberi kasih sayang pada diri sendiri. Orang yang melanggar etika adalah orang yang tidak memiliki kasih sayang pada orang lain yang dirugikan akibat perbuatannya yang melanggar hak orang lain.

4. Pemaaf (forgiveness) adalah sifat yang diberikan pada sesama manusia. Orang yang memiliki kecerdasan moral yang tinggi bukanlah tipe orang pendendam yang membalas perilaku yang tidak menyenangkan dengan cara yang tidak menyenangkan pula.

Sebagaimana modal intelektual yang berbasis pada kecerdasan intelektual, modal moral dasarnya adalah kecerdasan moral yang berbasis pada empat kompetensi moral di atas. Modal moral menjadi semakin penting peranannya karena upaya membangun manusia yang cerdas dengan IQ tinggi dan manusia yang pandai mengelola emosinya dalam berhubungan dengan orang lain tidaklah mengantarkan manusia pada kebermaknaan hidup. Kebermaknaan hidup adalah sebuah motivasi yang kuat yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu kegiatan yang berguna. Hidup yang berguna adalah hidup yang memberi makna pada diri sendiri dan orang lain. Selain itu modal moral ini juga memberikan perasaan hidup yang komplet (wholeness). Inilah yang disebut oleh Abraham Maslow dengan “Peak Experience”, perasaan yang muncul karena kedekatan dengan sang Pencipta. Konsep yang demikian ini banyak yang menyebutnya dengan istilah modal spiritual (Sinetar, 2000) dalam Ancok (2002). Stephen Covey (1990) memasukkan bagian dari hal yang bersifat spiritual ini dalam bagian kegiatan manusia yang harus ditingkatkan agar manusia menjadi manusia yang efektif. Bagi orang yang beragama, modal intelektual, modal emosional, modal sosial, modal ketabahan, dan modal moral yang diutarakan di atas adalah bagian dari ekspresi modal spiritual. Semakin tinggi keimanan seseorang semakin tinggi pula kelima modal di atas. Namun demikian banyak orang yang menyarankan agar modal spiritual dipisahkan dari kelima modal di atas, dengan tujuan untuk semakin menekankan betapa pentingnya upaya pengembangan spiritualitas dan keberagamaan manusia. Di mata orang yang berpandangan demikian, agama akan menjadi pembimbing kehidupan agar tidak menjadi egoistik yang orientasinya hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Oleh karena itu upaya untuk mengembangkan keagamaan adalah bagian mutlak dan utama bagi tumbuhnya masyarakat yang makmur dan sejahtera serta aman dan damai.

f. Modal Kesehatan
Badan atau raga adalah wadah untuk mendukung manifestasi semua modal di atas. Badan yang tidak sehat akan membuat semua modal di atas tidak muncul dengan maksimal. Oleh karena itu kesehatan adalah bagian dari modal manusia agar dia bisa bekerja dan berfikir secara produktif. Stephen Covey (1990) dalam bukunya yang berjudul Seven Habits of Highly Effective People, mengatakan bahwa kesehatan adalah bagian dari kehidupan yang harus selalu dijaga dan ditingkatkan kualitasnya sebagai pendukung manusia yang efektif. Bila badan sedang sakit semua sistem tubuh kita menjadi terganggu fungsinya, akibatnya kita jadi malas berfikir dan berbuat (modal intelektual), dan seringkali emosi (modal emosional) kita mudah terganggu kestabilannya, dan seringkali kita mudah menyerah menghadapi tantangan hidup (modal ketabahan). Selain itu semangat untuk berinteraksi dengan orang lain (modal sosial) dengan orang lainpun menjadi berkurang. Jadi ada benarnya kata pepatah “dalam badan yang sehat terdapat jiwa/pikiran yang sehat”. Walaupun banyak kritikan terhadap pernyataan itu, karena ternyata banyak orang gila yang badannya sangat sehat tapi pikirannya sakit, tapi seluruh komponen modal manusia saling berinteraksi satu dengan lain seperti es teh jeruk nipis yang manis, sulit dipisahkan mana yang teh, mana yang jeruk nipis, mana yang gula, dan mana yang air es.

Pengembangan Modal Manusia

Proses pendidikan, termasuk di dalamnya pendidikan dan pelatihan, pada umumnya sangat bersifat individual, dan kurang menekankan pada belajar kelompok. Selain itu proses pendidikan biasanya hanya berfokus pada pengembangan aspek kognitif. Sementara modal manusia adalah bagian dari proses yang tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga bersifat afektif. Modal sosial muncul dari hasil kerjasama antar individu, oleh karenanya pembentukan modal manusia hanya bisa dilakukan dengan efektif apabila melibatkan sejumlah orang yang bekerjasama dalam sebuah kelompok. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa belajar bersama dalam kelompok (learning group) dapat meningkatkan hasil kerja kelompok dan perasaan menyatu dalam organisasi (Cunningham:2002). Sebagai contoh, hasil observasi terhadap dampak Leadership Development Program (LDP) di PT. Caltex Pacific Indonesia beberapa saat setelah program LDP dilaksanakan menunjukkan adanya penguatan modal sosial. Sesama anggota perusahaan merasa lebih akrab dan melihat orang lain sebagai bagian dari sukses perusahaan. Afiatin (2003) melaporkan berbagai hasil penelitian yang melihat dampak penggunaan pelatihan outbound bagi perkembangan kepribadian yang menumbuhkan modal manusia. Selain itu Johnson & Johnson menemukan keberadaan dalam pelatihan telah menumbuhkan nuansa hidup berkomunitas (Ancok, 2002). Salah satu bentuk diklat yang paling efektif adalah pembentukan kerja sama tim (team building exercise) yang dilakukan melalui pelatihan berdasarkan pengalaman di alam terbuka. Pengalaman melaksanakan kegiatan outbound management training menunjukkan bahwa kerja sama tim dan antar tim semakin meningkat pada berbagai organisasi yang menggunakan metode tersebut. Maraknya penggunaan pelatihan di alam terbuka dengan melibatkan belajar dalam kelompok di berbagai perusahaan menunjukkan bahwa metode ini dianggap efektif di dalam membangun kerjasama kelompok. Tidak hanya di lembaga bisnis, kini semakin banyak organisasi pemerintah yang mengembangkan organisasinya melalui penerapan pelatihan kelompok di alam terbuka. Tampaknya pengalaman hidup bersama dalam proses pelatihan ini memupuk pertumbuhan kepribadian yang menjadi pendukung munculnya modal sosial. Pendidikan karakter untuk mengembangkan kemampuan individu agar bisa berinteraksi dengan orang lain juga perlu dilakukan guna peningkatan modal manusia. Pelatihan inteligensi emosional, dan pelatihan untuk membangun kebiasaan positif seperti dalam The seven habits of highly effective people (Covey, 1990) dan pelatihan kecerdasan emosional (Goleman,1996) sangat perlu dilakukan pada masyarakat, apalagi bagi para aparatur pemerintah. Selain melalui pelatihan, modal sosial dapat pula ditingkatkan dengan upaya silaturahmi. Silaturahmi dapat dilakukan dengan membuat kegiatan bersama, misalnya kegiatan olahraga antar unit, saling mengunjungi antar unit, pengajian bersama antar unit, dan sebagainya. Kontak sosial seperti ini diyakini akan lebih menumbuhkan rasa saling kenal mengenal. Tentu upaya seperti ini akan memakan biaya, tetapi perlu disadari bahwa itu adalah sebuah investasi yang akan menghasilkan nilai, yaitu kebersamaan. Namun demikian, yang perlu kita ingat bersama bahwa penunjang kelahiran modal manusia ini sangat ditentukan oleh pendidikan dalam keluarga. Dalam keluarga yang penuh kasih sayang dan saling menghargai, sifat kepribadian yang mendasari pembentukan modal sosial akan mudah tumbuh dan berkembang. Amin.


Sumber Bacaan:
Afiatin, T. (2003). Pengaruh program kelompok AJI dalam peningkatan harga diri, asertivitas
dan pengetahuan mengenai napza untuk prevensi penyalahgunaan napza pada
remaja. Disertasi. Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada.
Ancok, D. (1997). Revitalisasi Sumber Daya Manusia dalam Era Perubahan, Kelola: Gadjah
Mada University Business Review, No.8, 104-117
Ancok, D. (1998). Membangun Kompetensi Manusia dalam Milenium Ketiga, Psikologika,
No. 6, 5-17.
Ancok, D. (2002), Outbound Management Training: Aplikasi Ilmu Perilaku dalam
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jogjakarta: UII Press.
Cohen, D. & Prusak, L. (2001), In Good Company, Boston, Harvard Business School Press
Covey, S.R. (1990), Seven Habits of Highly Effective People, New York, Fireside Book.
Cunningham, I. (2002), Developing human and social capital in organisations, Industrial and
Commercial Training, Vol. 34, No.4. 89-94.
Fattah, Nanang (2004). Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung, Remaja
Rosdakarya.
Goleman, D.(1996), Emotional Intelligence. New York, Bantam Books.
Hawkins, D.I; Best, R.J. & Coney, K.A (1998), Consumer Behavior: Building Marketing
Strategy, McGraw-Hill.
Ross, J. et.al. (1997), Intellectual capital: Navigating the New Business Landscape, New
York, MacMillan.
Schultz, Theodore, W (1961), Investment in Human Capital, The American Economics
Review, No. 51, March 1961.
Tapscott, D. (1996), Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked
Intelligence, New York: McGraw-Hill.

Seleksi Ketenagakerjaan


1.Pengertian Seleksi
Seleksi maksudnya pemilihan tenaga kerja yang sudah tersedia. Seleksi pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan tenaga kerja yang memenuhi syarat dan memiliki kualifikasi yang sesuai dengan deskrifsi pekerjaan yang ada atau sesuai dengan kebutuhan organisasi/perusahaan.

2. Tujuan seleksi 
adalah mendapatkan tenaga kerja yang paling tepat untuk memangku suatu jabatan tertentu. Mengarah pada tujuan seleksi yang demikian itu, setiap organisasi yang bersangkutan senantiasa akan berusaha dengan biaya yang serendah mungkin dengan menggunakan cara yang paling efisien, tetapi efektif.

3. Faktor Yang Harus Diperhatikan dalam Seleksi
1. Penawaran tenaga kerja
2. Etika
3. Internal organisasi
4. Kesamaan Kesempatan 

4.Langkah-langkah dalam Proses Seleksi
  1. Terima surat lamaran
  2. Ujian
  3. Wawancara
  4. Chee latar belakang dan surat referensi
  5. Evaluasi kesehatan
  6. Wawancara kedua dengan atasan langsung
  7. Keputusan atas lamaran
Proses seleksi
  1. Test Psiko/kepribadian
  2. Test pengetahuan
  3. Test pelaksanaan pekerjaan.


4.Dasar Kebijakan
Pada dasarnya proses seleksi dimulai setelak kumpulan para pelamar yang memenuhi syarat diperoleh melalui suatu penarikan atau seleksi. Proses seleksi ini merupakan serangkaian langkah kegiatan yang digunakan untuk memutuskan pelamar diterima atau tidak diterima.
Pada umumnya untuk penarikan dan seleksi ini, organisasi bergabung sebagai employment function dan depertemen personalia. Suatu analisis pekerjaan, perencanaan SDM dan perbaikan dilakukan untuk keperluan membantu seleksi personalia. Dengan demikian, pelaksanaan proses seleksi harus dilaksanakan dengan cara sebaik-baiknya dan sesuai rencana. Hal ini tidak lain merupakan dasar kebijaksanaan yang harus kita pegang dalam proses seleksi.

5.Pendekatan dalam Proses Seleksi

Proses seleksi menurut beberapa ahli dianggap sebagai proses penyewaan tenaga ahli (the hiring process). Mereka menganggap hiring dan selection merupakan konsep ketenagakerjaan yang “interchangeable” (dapat saling ditukar istilahnya). Dalam proses seleksi, akan terjadi di antara “menyewa” (bagi pelamar tenaga kerja yang lolos seleksi) dengan “tidak jadi menyewa” (bagi pelamar yang tidak memenuhi syarat), maka mereka lebih menyukai “proses seleksi” dari pada “proses penyewaan” tenaga kerja.

Dalam proses seleksi ada dua pendekatan diantaranya:
a.   Pendekatan succesive hurdles
sebagian besar proses seleksi yang berjalan sampai saat ini berdasarkan konsep succesive hurdles. Itu berarti bahwa untuk berhasilnya pelamar tenaga kerja diterima dalam suatu organisasi, mereka harus lulus dari berbagai persyaratan yang telah ditentukan secara bertahap. Mulai dari mengisi blanko lamaran, tes-tes, wawancara, mengecek seluruh latar belakang pribadi pelamar, dan pemeriksaan medis maupun pemeriksaan relevant lainnya, dll.
b.   Pendekatan compensantory
pendekatan yang lain, yang rupanya kurang biasa dipergunakan, didasarkan pada beranggapan bahwa kekurangan pada satu faktor disatu pihak sebenarnya dapat “ditutupi” oleh faktor seleksi lainnya yang cukup baik dipihak lain.

6.Kualifikasi yang Menjadi Dasar Seleksi
Proses seleksi sangat penting dalam memberikan penilaian akan sifat-sifat, watak, dan kemampuan para pelamar secara tepat, teliti dan lengkap. Beberapa kualifikasi berikut ini menjadi dasar dalam proses seleksi..


a. Keahlian
Merupakan salah satu kualifikasi utama yang menjadi dasar dalam proses seleksi, kecuali bagi jabatan yang tidak memerlukan keahlian. Penggolongan keahlian dapat dikemukakan sebagai berikut:
  1. Technical skill,Yaitu keahlian teknik yang harus dimiliki para pegawai pelaksana.
    2.  Human skill,Yaitu keahlian yang harus dimiliki oleh mereka yang akan memimpin    beberapa orang 
         bawahan.
    3.  Conceptual skill, Yaitu keahlian yang harus dimiliki oleh mereka yang akan memangku jabatan      
       puncak pimpinan sebagai figure yang mampu mengkoordinasi berbagai aktivitas   untuk mencapai
       tujuan organisasi.

b. Pengalaman
Dalam proses pelamaran suatu pekerjaan, pengalaman pelamar cukup penting artinya dalam suatu proses seleksi. Suatu organisasi/perusahaan cenderung akan memilih pelamar yang berpengalaman dari pada yang tidak berpengalaman karena dipandang lebih mampu melaksanakan tugasnya. Selain itu, kemampuan intelegensi juga menjadi dasar pertimbangan selanjutnya sebab orang yang memiliki intelegensi yang baik biasanya orang yang memiliki kecerdasan yang cukup baik. Faktor pengalaman saja tidak cukup untuk menentukan kamampuan seseorang pelamar dalam menyelesaikan tugasnya dengan baik.

c. Usia
Perhatian dalam proses seleksi juga ditunjukan pada masalah usia para pelamar. Usia muda dan usia lanjut tidak menjamin diterima tidaknya seseorang pelamar. Mereka memiliki usia lanjut tenaga fiisknya relatif terbatas meskipun banyak pengalaman. Mereka yang berusia muda mungkin saja memiliki vitalitas yang cukup baik. Tetapi rasa tanggung jawabnya relatif kurang dibandingkan dengan usia dewasa.  Oleh karena itu, yang terbaik pelamar yang berusia sedang atau sekira usia 30 tahun.

d.   Jenis kelamin
Jenis kelamin memang sering pula diperhatikan, terlebih-lebih untuk jabatan tertentu. Jabatan-jabatan memang dikhususkan untuk pria, ada juga yang khusus untuk wanita. Tetapi banyak juga yang terbuka untuk kedua jenis kelamin tersebut.

e. Pendidikan
Kualifikasi pelamar merupakan cermin dari hasil pendiidkan dan pelatihan sebelumnya, yang akan menentukan hasil seleksi selanjutnya dan kemungkinan penempatanya dalam organisasi bila pelamar yang bersangkutan diterima. Tanpa adanya latar belakang pendidikan tersebut maka proses pemilihan atau seleksi akan menjadi sulit.

f. Kondisi fisik
Kondisi fisik seseorang pelamar kerja turut memegang peranan penting dalam proses seleksi. Bagaimana pun juga suatu organisasi secara optimal akan senantiasa ingin memperoleh tenaga kerja yang sehat jasmani dan rohani kemudian memiliki postur tubuh yang cukup baik terutama untuk jabatan-jabatan tertentu.

g. Tampang
Menurut Drs. Manullang, dalam jabatan-jabatan tertentu, tampang juga merupakan salah satu kualifikasi yang menentukan berhasil atau tidaknya seseorang dalam melaksanakan tugasnya. Misalnya, tugas sebagai pramugari, pelayan toko, dll.

h.  Bakat
Bakat atau aptitube seseorang calon pelamar tenaga kerja turut juga pemegang kunci sukses dalam proses seleksi. Bakat ini dapat tampak pada tes-tes, baik fisik maupun psikolog. Dari tes-tes tersebut dapat diketahui bakat yang tersembunyi, yang suatu saat dapat dikembangkan.


i. Temperamen
Temperamen adalah pembawaan seseorang. Temperamen tidak dipengaruhi oleh pendidikan, namun berhubungan langsung dengan ‘emosi’ seseorang. Menurut Drs. Manullang, temperamen adalah sifat yang mempunyai dasar bersumber pada faktor-faktor dalam jasmani bagian dalam, yang di timbulkan oleh proses-proses biokima. Temperamen seseorang itu bermacam-macam, ada yang periang, tenang dan tentram, bersemangat, pemarah , pemurung, pesimis, dll. Hal ini menentukan sukses tidaknya seleksi atau tempat yang cocok bagi seseorang pelamar bila diterima bekerja dalam organisasi.

J. Karakter
Karakter berbeda dengan tempramen meskipun ada hubungan yang erat antara keduanya. Temperamen adalah faktor ’endogen’, sedangkan karakter adalah faktor ’exogen’. Suatu karakter seseorang dapat diubah melalui pendidikan, sedangkan temperamen tidak dapat diubah.

7. Cara Mengadakan Seleksi
Ada beberapa cara seleksi dalam mengadakan pemilihan tersebut menurut Drs.Manullang yaitu sebagai berikut.
a. Seleksi ilmiah
Adalah cara seleksi yang berdasarkan pada data yang diperoleh dari job specification sehingga dengan demikian persyaratan-persyaratan yang ditentukan harus dapat dipenuhi oleh calon karyawan, agar benar-benar sesuai dengan keinginan organisasi. Data bersifat non ilmiah yang masih dipertimbangkan dalam proses seleksi ilmiah, yaitu:
  1. Surat lamaran,
  2. Ijazah sekolah dan daftar nilai,
  3. Surat keterangan pekerjaan atau pengalaman,
  4. Wawancara langsung, dan
  5. Referensi/rekomendasi dari pihak yang dapat dipercaya.
b. Seleksi non ilmiah
Cara kedua ini, pada umumnya banyak digunakan di negara-negara berkembang, seperti di negara kita sendiri. Cara non ilmiah ini, di samping didasarkan pada kelima data di atas sering ditambah dengan faktor-faktor lain, seperti:
  1. Bentuk tulisan dalam lamaran,
  2. Cara berbicara dalam wawancara, dan
  3. Tampang atau penampilan.

8. Teknik Seleksi
a. Teknik seleksi menggunakan interview
Interview atau wawancara lazim digunakan dalam proses  seleksi calon pegawai atau karyawan. Interview atau wawancara bagaimana pun juga memiliki kelemahan, antara lain menurut Drs.Manullang adalah sebagai berikut.
  1. Subyektivitas pewawancara,
  2. Cara mengajukan pertanyaan,
  3. Pengaruh halo.
Terdapat suatu gagasan untuk melenyapkan kelemahan-kelemahan tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Mc Merry anatara lain:
  1. Orang yang bertugas menginterview bekerja atas dasar kualifikasi definitif.
  2. Orang yang bertugas menginterview mengetahui pertanyaan yang diajukannya kepada pelamar dan telah disusun terlebih dahulu dengan kata-kata yang mudah dimengerti.
  3. Orang yang bertugas menginterview telah mendapat pelatihan dalam teknik menginterview.
  4. Orang yang bertugas menginterview sudah mendapatkan data-data mengenai diri pelamar terlebih dahulu, baik melalui telepon maupun dari laporan-laporan tertentu.


b.   Teknik seleksi menggunakan assessment center
Merupakan suatu proses penilaian (rating) yang dinilai sophiscated, yang isinya diarahkan sedemikian rupa sehingga kita dapat meminimalisasikan timbulnya penyimpangan/bias yang sangat mungkin terjadi. Sehingga dapat dipastikan kandidat tenaga kerja yang terlibat dalam proses penilaian tersebut memperoleh suatu kesempatan yang sama untuk memunculkan potensi.
Program assessment center yang didasarkan pada pendekatan multiple merupakan pendekatan yang fleksibel, dalam arti bias diterapkan pada beberapa organisasi tergantung pada kebutuhannya.

Apasih SMART itu?????

Jika berbicara mengenai masalah organisasi maka selain membahas interaksi antar manusia di dalamnya juga harus mebahas tujuan atau visi misi dari suatu organisasi, dalam penetuan visi misi ada baiknya kita memasukan unsur-unsur dibawah ini, atau dengan kata lain visi misi yang ditetapkan harus include aspek di bawah ini:

5 Langkah Tetapkan Target yang SMART!

Smart memang berarti pintar, tapi SMART yang akan kita bahas disini adalah sebuah cara pintar untuk mengembangkan dan membangun sebuah bisnis.
SMART adalah filosofi yang digunakan untuk membantu anda menetapkan target dan tujuan, misalnya dalam project management, employee performance management, atau personal development. Beberapa orang menyamakannya dengan istilah KPI (Key Performance Indicators). Singkatan ini pertama kali digunakan dalam Management Review edisi November 1981 oleh George T.Doran.
Apa itu SMART?
SMART adalah:
S – Specific – Significant, Stretching, Simple
M – Measurable – Meaningful, Motivational, Manageable
A – Attainable – Appropriate, Achievable, Adjustable, Ambitious, Aligned, Action-focused
R – Relevant – Result-Based, Results-oriented, Resourced, Resonant, Realistic
T – Timely – Time framed, Timed, Time-based,  Time-bound, Time-Specific, Timetabled
Beberapa orang senang menambahkannya dengan akhiran ‘ER’ menjadi ‘SMARTER’. E = Enjoyable, R = Relevant.
Menyusun Target yang SMART
Seperti yang dijabarkan oleh Paul J. Meyer dalam bukunya, Attitude is Everything, berikut beberapa penjelasan mengenai karakteristik yang S.M.A.R.T dalam menetapkan target:
SPECIFIC
Kata yang pertama ini menekankan pentingnya menetapkan target yang spesifik; benar-benar spesifik. Hindari target yang terlalu umum atau kurang mendetail. Target tidak boleh ambigu, harus jelas, dan dipaparkan dengan bahasa yang lugas. Misalnya, tetapkan target seperti ini: “tingkatkan penjualan dari 500 menjadi 1000 buah apel dalam sehari” dan hindari “tingkatkan omset dari penjualan apel per-hari”.
Untuk menetapkan tujuan yang spesifik, anda harus menyampaikan kepada tim seluruh harapan dan keinginan dengan spesifik, mengapa hal ini penting, siapa yang akan terlibat, dimana akan dijalankan, dan atribut apa saja yang penting. Suatu tujuan (target) yang spesifik biasanya akan menjawab pertanyaan “5W” ini:
  • What: apa yang ingin saya capai?
  • Why: Mengapa harus dicapai? (alasan yang spesifik; tujuan dan keuntungan dari pencapaian target tersebut)
  • Who: Siapa yang terlibat?
  • Where: Dimana target akan dicapai? (identifikasi lokasi)
  • Which: Identifikasi persyaratan untuk mencapai target dan kendala yang menghalagi tercapainya target.
MEASURABLE
Kata yang kedua menekankan pentingnya kriteria yang digunakan untuk mengukur besarnya kemajuan yang dibuat dalam mencapai target. Filosofi yang melatar-belakangi poin ini adalah: “Jika target tidak dapat diukur, mustahil untuk mengetahui apakah anda telah membuat kemajuan dalam mencapai tujuan akhirnya”. Mengukur kemajuan akan membantu tim untuk tetap berada dalam jalur yang benar, menepati tenggat waktu, dan merasakan semangat dan euforia ketika memperoleh hasil yang menggembirakan di setiap pencapaian yang membawa mereka lebih dekat kepada tujuan.
Target yang terukur akan mampu menjawab salah satu pertanyaan:
  • Berapa banyak?
  • Bagaimana anda mengetahui bahwa target tersebut telah tercapai?
ATTAINABLE
Kata yang ketiga menekankan bahwa target harus realistis dan dapat dicapai. Target tidak boleh dibuat terlalu mudah (untuk performa standar tim anda), tapi juga tidak boleh terlalu sulit sehingga terasa mustahil untuk dicapai. Target yang ditetapkan akan dapat dicapai jika: anda telah menentukan apa yang paling penting, lalu mampu membayangkan langkah-demi-langkah untuk mewujudkannya. Untuk itu, anda akan mengembangkan perilaku, kemampuan, keahlian, dan kapasitas finansial untuk mencapainya.
Target yang attainable akan menjawab pertanyaan seperti:
  • How: Bagaimana target tersebut akan dicapai?
RELEVANT
Kata keempat menekankan pentingnya memilih target yang tepat. Target yang dibuat oleh bank manager untuk membuat “50 sandwich isi mentega kacang dan jeli sebelum jam 2 siang” bisa jadi merupakan target yang Spesifik, Measurable, Attainable, dan Timely, namun tidak Relevan. Seringkali anda membutuhkan dukungan berbagai pihak untuk mencapai target: sumber daya, masukan dari Champion, dan apapun yang dapat membantu meruntuhkan tembok penghalang. Target yang relevan untuk atasan anda, tim anda, dan organisasi anda akan mendapatkan dukungan yang anda butuhkan itu.
Target yang relevan, jika tercapai, akan mendorong tim, departemen, dan organisasi lebih maju. Sebuah target yang mendukung atau selaras dengan target-target lainnya akan dianggap sebagai target yang relevan.
Sebuah target yang relevan akan memberikan jawaban ‘ya’ untuk semua pertanyaan ini:
  • Apakah target ini layak diperjuangkan?
  • Apakah target ini ada di waktu yang tepat?
  • Apakah target ini sesuai dengan kebutuhan dan target anda yang lain?
  • Apakah anda orang yang tepat untuk mengejar target ini?
TIMELY
Kata kelima menekankan pentingnya menepatkan target dengan kerangka waktu, yaitu memberikan deadline pencapaian target. Komitmen kepadadeadline akan membantu tim untuk tetap fokus menjalankan pekerjaan untuk memenuhi target tepat waktu, atau bahkan lebih cepat. Ini adalah bagian dari filosofi SMART yang melindungi target dari serangan krisis sehari-hari yang biasa terjadi dalam organisasi. Target dengan tenggat waktu akan menimbulkan urgensi.
Target dengan tenggat waktu akan menjawab pertanyaan berikut:
  • Kapan?
  • Apa yang bisa saya lakukan (selesaikan) dalam 6 bulan dari sekarang?
  • Apa yang bisa saya lakukan (selesaikan) dalam 6 minggu dari sekarang?
  • Apa yang bisa saya lakukan (selesaikan) hari ini?